“Insya Alloh”, suaraku lembut menanggapi permintaan anakku.
“Tapi insya Alloh, yang benar lho Bah”, sambungnya. Aku hanya menatap wajahnya tersenyum berusaha menyakinkan bahwa minggu depan aku bisa melunasi uang sekolahnya yang sudah nunggak beberapa bulan. Dalam keluargaku, aku berusaha menanamkan nilai-nilai islam. Termasuk ketika berjanji pada siapapun aku selalu menekankan agar bilang Insya Alloh, kalau Alloh mengehendaki. Tetapi nampaknya anak-anakku sudah terlalu sering kecewa dengan Insya Alloh yang kukatakan padanya. Kecewa, karena janji yang kusertai dengan ucapan Insya Alloh hampir selalu tak bisa kutepati.
Dua bulan yang lalu misalnya. Anisah anak putriku yang masih kelas VI SD terpaksa menangis dan berontak karena janji yang kusertai dengan Insya Alloh belum bisa terpenuhi . Waktu itu ia minta dibelikan sepatu karena bagian bawah sepatunya sudah jebol. Tetapi karena kondisi keuanganku yang belum memungkinkan akhirnya sepatu tidak jadi bisa terbeli.
“Abah tu selalu begitu. Katanya hari ini mau membelikan. Pakai Insya Alloh lagi. Katanya kalau pakai Insya Alloh itu nggak boleh untuk main-main. Berjanji padahal niatnya memang sudah tidak mau menepati terus untuk menyenangkan hati bilang Insya Alloh.”
“Itu benar Dik. Kita ndak boleh bilang Insya Alloh untuk main-main. Dan Abah juga tidak main-main waktu bilang Insya Alloh kemarin. Hanya memang Alloh belum menakdirkan Abah mampu membelikan sepatu untuk Adik hari ini meski Abah sudah berusaha. Makanya, Adik juga harus berdoa, berdoa agar Alloh member rejeki pada kita dan Adik juga harus minta sepatu pada Alloh karena hanya Allohlah yang bisa memenuhi kebutuhan kita termasuk sepatu untuk Adik”Kataku menyakinkan.
Aku tidak ingin anakku mempunyai image bahwa kata Insya Alloh sering aku gunakan untuk menutupi ketidakmampuanku memenuhi keinginan-keinginannya, dan memang aku tidak pernah bermaksud menjadikan kata Insya Alloh itu sebagai senjata pamungkasku untuk tidak memenuhi kebutuhan mereka. Siapa sih yang tidak senang memenuhi kebutuhan anak-anaknya, apalagi kebutuhan yang pokok. Orang tua mana yang suka disebut tidak bertanggung jawab. Pasti Anda pun tidak suka, kan. Sama. Aku juga begitu. Bahkan aku ingin anak-anakku tidak ikut merasakan beban bagaimana susahnya mencari uang. Karenanya, aku selalu berusaha mencukupi kebutuhan mereka sebelum mereka merasa kurang dicukupi. Aku tidak ingin anak-anakku mempunyai masalah dalam sekolahnya termasuk dalam urusan keuangan sehingga mereka dipanggil dan diberi deadline. Sungguh aku tidak menginginkan seperti itu.
Dulu sewaktu masih di SMA aku pernah merasakan malunya di panggil ke kantor BP gara-gara belum bisa membayar uang sekolah yang sempat nunggak beberapa bulan, padahal ujian semester sudah akan dilaksanakan. Malu karena orang tuaku harus ke sekolah untuk menyakinkan bahwa orangtuaku benar-benar akan melunasi jika memang sudah punya uang. Malu dan merasa kasihan pada orang tuaku karena harus susah-susah datang ke sekolah. Tetapi waktu itu aku bisa menyadari maksud dari sekolah memanggil orang tuaku. Mereka ingin menyakinkan bahwa memang benar-benar saya belum dikasih uang untuk bayar sekolah. Karena sering terjadi kasus siswa tidak membayarkan uang sekolahnya padahal orang tua mereka sudah memberinya. Karenanya, aku tidak mau hal seperti itu, dipanggil ke kantor gara-gara belum bisa melunasi uang sekolah, terjadi pada anakku.
Dan pagi ini, hal yang tidak kuinginkan itu akan terjadi pada anakku. Aku yakin bahwa kalau Ahmad, anak pertamaku, tidak sanggup melunasi biaya sekolah yang sempat nunggak beberapa bulan itu tidak terbayarkan dia pasti akan di panggil ke kantor. Aku tidak ingin hal itu terjadi, maka ketika anakku mengatakan bahwa Senin besuk uang sekolah harus dilunasi, aku katakan Insya Alloh, meski aku belum mempunyai cara bagaimana uang satu juta limaratus rupiah itu bisa aku dapatkan dalam waktu satu minggu.
Aku biasa melunasi biaya sekolah anak-anakku dari hasil kerja sampinganku menulis di beberapa media masa. Lumayan satu artikel kadang dihargai seratus sampai dua ratus lima puluh ribu. Untuk sebuah puisi yang pernah diterbitkan oleh media masa lokal misalnya, aku pernah mendapat honor seratus lima puluh ribu. Bahkan aku pernah menulis sebuah artikel tentang pendidikan di sebuah media masa aku mendapatkan honor dua ratus ribu rupiah. Karena artikelku di muat di halaman utama media masa itu. Dan satu minggu yang lalu, Alhamdulillah aku bisa membelikan sepatu anakku dari hasil menulis cerita anak yang dimuat di majalah anak.
Aku memang tidak bisa mengharapkan, untuk memenuhi kebutuhan keluargaku dari hasil kerja mengajarku. Anda pasti tahu, apalagi kalau Anda juga guru honorer, berapa gaji yang aku terima setiap bulannya. Sangat tidak mencukupi. Ya, Alhamdulillah sebagai guru honorer aku mendapatkan insentif setiap enam bulan sekali. Biasanya uang insentif itu aku alokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan yang besar dan terencana. Meski demikian tetap juga semua itu belum mampu menutup kebutuhan keluargaku. Apalagi kalau pas aku tidak bisa mengerjakan kerja sampinganku, menulis, karena sakit seperti minggu ini. Beban kebutuhan yang harus dicukupi sama bahkan bertambah sementara income berkurang. Jadinya seperti pagi ini. Aku merasa terkejut, meski keterkejutan itu aku sembunyikan agar anakku tidak melihat, karena begitu besar beban yang harus aku selesaikan untuk satu minggu ke depan. Meskinya, itu tidak terjadi ketika uang insentif satu juta enam ratus rupiah kemarin tidak aku gunakan untuk berobat ke rumah sakit dan harus menjalani operasi karena ada batu di saluran kencingku.
Sebelumnya aku memang berencana uang insentif itu untuk biaya sekolah anakku. Tapi beginilah hidup, terkadang tidak sesuai dengan rencana kita. Ini pulalah yang sering aku katakan pada anak-anakku, bahwa seberapa besar dan mulianya keinginan kita, kita tidak bisa memastikan keberhasilannya. Karenanya, usaha keras untuk mewujudkan keinginan itu harus disertai dengan doa dan tawakkal agar tidak sombong tatkala berhasil mewujudkannya dan putus asa ketika Alloh masih menahannya. Ucapan Insya Alloh itulah yang harus selalu kita sertakan dalam setiap janji dan transaksi dalam kehidupan kita. Dan Alhamdulillah anakku mulai paham.
Tetapi aku tidak tahu kenapa pagi ini dia sangat khawatir dengan ucapan Insya Alloh yang aku keluarkan. Apakah dia sudah bisa merasakan sulitnya mencari uang sebesar itu dalam waktu satu minggu sehingga ia merasa khawatir atau… dia mulai tidak percaya lagi pada kemampuan orantuanya…. “Ah, ya Alloh hindarkan itu darinya ya Alloh”, desah hatiku.
****
Pukul enam tiga puluh menit. Harusnya jam segini aku sudah di sekolah. Tetapi motorku ikut ngadat. Berkali kali aku coba nyalalakan tidak bisa juga. Karenanya, aku terpaksa bersepeda. Hari ini jalan aku rasakan sangat padat, menghambat. Aku lihat jam. Pukul 06.45 sementara sepeda yang kukayuh seolah lambat berjalan padahal aku merasa sudah berusaha menggenjotnya sekuat mungkin. Sementara aku juga bisa melihat murid-muridku berkali-kali mendahuluiku dengan sepeda motornya.
Pas pukul 07.00 dengan keringat yang agak lumayan, aku sampai di sekolah, terlambat 10 menit.
Aku tidak langsung masuk ke kantor atau ke kelas tapi ke kamar kecil, wudlu dan berusaha menghilangkan jejak kelelahanku. Selalu aku berusaha untuk tampil prima di depan murid-muridku.
“Assalamu’alaikum warahmatullohi wa barakatuhu”, salamku pada anak-anakku mengawali kegiatanku di kelas.
“Tumben terlambat, Pak”, salah seorang nyeletuk setelah menjawab salamku. Alhamdulillah ada celah yang bisa aku gunakan untuk memberi masukan moral pada mereka.
“Yah, beginilah hidup itu. Kamu yakin kan Bapak tidak sengaja datang terlambat. Bahkan kalau kalian percaya sebenarnya Bapak pingin berangkat lebih pagi hari ini.”
“Ah, nggak usah aja, Pak. Terlambat lebih baik kok”, Andi, siswa yang terkenal paling banyak punya skor pelanggaran di sekolahku, menyela. Yang lain Cuma menoleh kepadanya, tapi aku bisa menangkap ketidaksetujuan mereka pada Andi , temannya.
“Ya, itu bagi kamu, tapi aku lihat teman-temanmu tidak seperti itu. Bapak ini kan jadi guru favorit di kelas ini bahkan ada yang cinta lho sama Bapak…..”, candaku untuk mengurangi ketegangan yang pelan kurasakan menyusup di kelas ini.
“Ciieee….,” suara mereka hampir bersamaan.
“Pak mana cerita, pagi ini?”
“Oh, iya…. Begini… tapi dengarkan baik-baik ya dan nanti aku ingin tahu hikmah apa di balik cerita yang Bapak sampaikan…, siap mendengarkan? Begini,…”
Lanjutku tanpa meminta tanggapan mereka. Suasana kuusahakan tenang. Aku mengawali cerita dengan membuat atmosfir cerita yang menyedihkan, dikripsi latar kondisi social cerita aku bikin sedemikian rupa hingga mereka masuk ke nuansa ceritaku. Aku lirik Andi meski masih belum konsentarsi, tapi aku masih bisa melihat keinginannya untuk mendengarkan ceritaku.
Setelah mereka masuk dalam atmosfir ceritaku, yang kubuat selama kurang lebih 3 menit aku mulai menyebutkan tokoh dan permasalahannya.
“Di keluarga itu hanya hidup seorang ayah dan seorang anak yang usianya satu tahun lebih tua dari usia kalian. Sang ibu meninggal karena sakit asma. Tetapi kematian ibunya tidak membuat anak itu membaik perilakunya. Anak itu bernama Anton”. Sengaja nama itu aku ambil agar ada kemiripan dengan nama Andi, muridku yang mempunyai skor pelanggaran tertinggi. Sekali lagi aku lirik Andi. Tidak ada perubahan yang bisa kutangkap.
“Ton, sampai kapan kamu akan berbuat seperti itu? Selalu bolos, main sampai larut malam dan tidak pernah melakukan sholat. Bahkan aku dengar dari warga desa ini kamu mulai minum, ya.”. Suaraku kubuat seperti seorang Bapak yang sedih melihat anaknya selalu berbuat tidak baik dan sulit untuk diingatkan.
“Alah… bapak ini lebih percaya pada anak atau pada orang lain sih…. Emangnya apa ruginya mereka dengan tingkahku. Mau minum, ngrokok atau yang lainnya, Ya terserah saya… toh aku tidak merugikan mereka, tidak menggunakan uang mereka dan tidak mengganggu mereka”
“Tapi mereka terganggu, Ton”
“Salah sendiri mereka merasa terganngu. Alahh sudahlah…. Bapak nggak usah bela mereka… aku keluar dulu”
Orang tua itu sangat sedih. Ia tidak lagi tahu cara apa yang bisa menyadarkan anaknya untuk menghentikan kelakuan tidak baiknya. Setiap malam ia berdoa untuk anaknya. Tapi sedikitpun tidak ada perubahan yang diperlihatkan anaknya. Bahkan terakhir ia dengar anaknya suka berkelahi sambil mabuk.
Saking putus asanya ia ambil paku, lalu ketika ia melihat ataupun mendengar anaknya melakukan kejahatan ia pakukan paku itu di dinding kamarnya. Setiap hari dan setiap saat. Pernah anaknya marah dan menganggap dirinya gila. Ketika ia katakan bahwa paku itu ia pakukan ketika ia mendengar atau melihat kelakuan tidak baik yang dilakukannya. Ia marah sambil mendobrak pintu dan tidak pulang beberapa hari.
Sampai suatu ketika, saat malam sunyi ia melihat dari celah pintu kamarnya ayahnya sedang berdoa dan ia mendengar doa yang dilantunkannya, ia berhenti dan terdiam. Hingga akhirnya ia masuk kamar ayahnya. Tapi ia sangat kaget karena dinding kamar ayahnya telah dipenuhi oleh paku-paku.
“Bapak…., apa ini? Kenapa Bapak memaku dinding ini semuanya. Kenapa dinding ini jadi penuh paku”. Sang Bapak menatap. Matanya berkaca-kaca. Dengan suara parau ia berkata,”Anakku, meski kamu tidak pulang beberapa saat lamanya, tapi orang tuamu ini selalu mendengar apa yang terjadi dengan dirimu. Apa yang kamu lakukan selalu aku perhatikan. Dan ketahuilah paku yang menempel di seluruh dinding kamar ini adalah jumlah kesalahan dan dosa yang sempat Bapak lihat dan dengar selama ini. Maafkan aku, anakku. Bapakmu ini tidak bisa mengikuti dan tidak mampu lagi menyuruhmu untuk berbuat baik. Bapakmu hanya bisa menghitung dan memperhatkan jumlah kesalahanmu sehingga untuk setiap kesalahan dan dosamu Bapakmu hanya mampu meminta ampunan pada Alloh untuk kamu dan meminta ampunan pada Alloh karena Bapakmu tidak bisa mendidikmu. Tidak bisa memikul amanah yang diberikan oleh Alloh dan oleh almarhumah ibumu….” Deras mengalir air mata sang ayah. Tak lagi sanggup ia berkata lebih banyak. Dan anehnya Anton juga demikian. Ia tak bergerak, berdiri terpaku. Ada air bening menetes dari matanya. Ia tak sanggup berkata juga. Bahkan sesaat kemudian meledak tangisnya. Ia memeluk ayahnya yang kurus dan kering. Menangis dan menangis.
“Bapak…., sebanyak itukah kesalahan dan dosaku “, suaranya di antara sedu sedannya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk menebus semuanya, Bapak?” Ada kelegaan dan keharuan di hati sang ayah. Ia elus kepala Anton. Ia coba peluk erat-erat sebelum akhirnya perlahan dia lepaskan.
“Anakku Alloh Maha Pengampun, selagi hambanya datang padanya minta ampun walau dengan segunung dosa, ia akan mengampunimu. Karenanya mintalah ampun pada Dia dan berjanjilah untuk mencintai-Nya. Dan aku akan melepas paku itu satu persatu setiap kali mendengar dan melihat kebaikan dan ketaatan yang kamu lakukan”.
“Demikianlah hingga akhirnya paku yang tertempel di dinding ayahnya itu dicabut semua satu persatu oleh ayah Anton Dan Anton menjadi anak yang baik. Ok, selesai cerita Bapak”.
Aku mengakhiri cerita dan tidak lupa aku melihat wajah mereka. Tidak ketinggalan wajah si Andi, muridku yang mempunyai skor pelanggaran di sekolah tempat aku mengajar. Luar biasa. Saat aku lihat wajahnya, kentara sekali ia terbawa oleh ceritaku. Bahkan aku sempat melihat ada bening air di sudut matanya seperti terlihat juga di mata beberapa siswa yang lain. Tapi ia segera memalingkan wajah begitu ia melihat mataku tertuju padanya.
“Ok, sekarang gilaran kamu menyampaikan hikmah dari cerita itu,” suaraku berusaha mengembalikan mereka pada realita belajar. Beberapa saat kemudian mereka menyampaikan hikmah yang ada dalam cerita tadi. Pas sepuluh menit berlalu. Aku akhiri sesi cerita lalu aku mulai masuk pada pembahasan pelajaran.
****
Sepeda jengki segera kukayuh setelah semua siswa pulang. Tetapi di sudut pertigaan jalan, aku lihat sosok muridku yang paling banyak mendapat skor pelanggaran.
“Kok, berhenti , Ndi? Ada apa?”
“Nggak papa, Pak. Emm..Cuma mau nanya. Biasa Bapak ada di rumah jam berapa?”
“Untuk hari ini, Insya Alloh jam 16.00 Bapak di rumah, emang ada apa?”
“Nggak ada apa-apa kok, Pak. Cuma mau main aja nanti, bolehkan , Pak?”
“Woww kenapa tidak? Boleh sekali. Malah Bapak merasa mendapat kehormatan dikunjungi..”
“Dikunjungi murid yang paling banyak mendapat skor pelanggaran paling banyak,…. Ya, kan, Pak….”
Tawaku memecah ketegangangan. Bisa juga si Andi ini bergurau.
“Ok, dah ya Bapak duluan… benar ya, nanti kutunggu lho. Jangan ngapusi…”
“Insya Alloh, Pak?”
Aku semakin terkejut dengan kata terakhir ini. Sejak kapan Andi menggunakan kata Insya Alloh. Ah, semoga ini bukan permainannya. Pintaku dalam hati.
***
Pukul 15.00 , setelah aku selesai sholat asyar di masjid, computer segera kunyalakan. Saya harus membuat beberapa artikel dan cerita untuk mengejar deadline janjiku pada anakku untuk melunasi uang sekolahnya. Aku harus segera mengirim artikel-artikel itu agar bisa segera dimaut. Dan jam empat sore ini, aku juga akan melihat bukti ucapan Andi yang disertai Insya Alloh.
Luar biasa ketika satu artikel sudah aku selesaikan aku melihat Andi dan orang tuanya mengetuk pintu. Aku tidak tahu maksud anak itu.
“Assalamu’alaikum warahmatullohi wa barakatuhu”, sapa Andi
“Wa’alaikum salam warahmatullohi wa barakatuhu. Wah benar-benar satu kehormatan, Bapak dikunjugi “
“Murid yang paling banyak mendapat skor pelanggaran di sekolahnya” Sahut Andi sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku. Senyumku dan tawa kami mengembang.
“Begini Pak, ini Andi anak saya. Murid yang paling banyak mendapat skor pelanggaran di sekolah Bapak, nggak tahu kok tiba-tiba saja tadi mengajak saya berkunjung ke sini. Dan dia ngotot ndak mau pindah dari sekolah Bapak padahal saya sudah menyiapkan sekolah untuk anak saya ini. Dia kemarin kan dapat surat peringatan lagi kalau sampai dia melakukan pelanggaran lagi pihak sekolah akan mengembalikan dia ke saya selaku orang tuanya. Kemarin saya sudah cerita sama anak saya. Tapi dia ngotot tetap nggak mau. Maka saya minta Bapak membantu anak ini di sekolah agar tidak melakukan pelanggaran lagi”.
“Bukan itu kok , Pak alasan pertama saya.” Sahut Andi
“Lho, kok… lalu apa?” Ada nada heran pada orang tua Andi. Saya hanya akan mengenalkan Bapak pada Guru Saya yang telah membantu Bapak dalam mempopulerkan media masa Bapak”.
“Bapak, Guru saya ini adalah penulis yang sering nulis artikel dan cerita bersambung di media itu Pak. Dan salah satu cerita yang ada di dalam cerita yang ditulisnya itulah yang menyadarkan saya pada kekuatan kata Insya Alloh. Maka kalau saya boleh meminta, Bapak jadikan dia sebagai penulis tetap di media Bapak”.
Kami berdua terkejut. Subhanalloh. Luar biasa dan sama sekali tak terpikir olehku kata-kata Andi. Ia ternyata memiliki kecerdasan yang luar biasa.
“Benarkah begitu? Apakah Bapak yang bernama Pak Rahmat atau Anggada.” Tanya bapak Andi seketika.
“Benar Pak. Darimana Bapak tahu nama samaran saya.?”Tanyaku keheranan.
“Saya adalah direktur Angkasa sebuah surat kabar lokal yang sering memuat tulisan Anggada. Dan salah satu judul artikel yang banyak mendapat respon dari pembaca adalah Kekuatan Insya Alloh. Dan hari-hari ini saya memang sedang mau merekrut staf redaksi untuk kolom renungan”. Kalau Bapak mau Bapak bisa bekerja di tempat saya.
“Maaf, dan terimakasih , Pak. Kalau bekerja di tempat Bapak mungkin belum bisa karena saya sudah mengajar di sekolah dimana putra Bapak belajar dan Alhamdulillah saya bisa menikmatinya.”
“Oh, iya ya maaf. Kalau begitu dan saya tidak ingin Bapak menolaknya, bagaimana kalau Bapak menjadi penulis tetap di kolom renungan itu.”
“Ya, insya Alloh kebetulan ini saya juga sedang menulis artikel berkaitan dengan bagaimana menjadikan masalah menjadi teman”.
“Ok, kalau begitu saya kira misi kita sudah selesai Andi. Kita pulang atau gimana…”
“Ya, terserah Bapak. Aku Cuma ngikut aja”
“Ok, Pak kami pamit dulu dan begitu selesai tolong artikel itu segera kirim ke redaksi atau saya yang mengambil…”
“Iya, Pak. Biar saya saja yang mengantar.”
Ada kesejukan yang mengalir di kepalaku mengiringi kepergian Andi, murid yang paling banyak mendapat skor pelanggaran. Satu yang aku ingat dari kata-kata Bapak Andi. Bahwa ia ngotot pingin tetap sekolah di sekolah dimana sekarang saya mengajar. Keinginan ini pula yang akan saya lihat buktinya dari Andi. Ya, Alloh berilah kemudahan pada anak itu untuk berubah menjadi siswa yang baik