Keindahan puisi tidak hanya terasa nikmat ketika dibaca dan didengar tapi juga terasa bermanfaat kita kita mampu menagkap apa yang dirasakan dan ingin di ungkapkanoleh penyair. Selain keindahan yang kita rasakan pelan tapi pelajaran dan nilai-nilai kemanusiaan menyusup dalam diri penikmat puisi. Inilah yang barangkali dikatakan bahwa karya sastra itu mempunyai fungsi dulce et utile, menyenangkan dan bermanfaat.
Seperti tatkala kita membaca puisi yang berjudul Sebatang Pohon Muram karya Mas Mahbub Junaedi. Tapi harus disadari juga bahwa menikmati dan menginterprestasikan puisi tidak seperti merasakan garam, yang semua lidah yang normal akn sepakat mengatakan asin.
Menginterprestasikan puisi akan sangat dipengaruhi oleh horison pembaca. Karena berbeda dalam memahami dan menafsirkan nilai danmakna puisi atau karya sastra pada umumnya menjadi suatu keniscayaan. Demikian pula ketika memcoba memahami puisi Sebatang Pohon Muram.
Membaca judul puisi ini ada pertanyaan yang bisa dilontarkan? Siapa sebatang pohon itu? Apakah dia penyair, atau benar-benar pohon yang terlihat oleh penyair yang mewakili hatinya, muram. Muram berati sedih, tidak bergembira atau tidak bercahaya terang.
Baris-baris selanjutnya dalam puisi tersebut lebih menjelaskan kepada pembaca bahwa pohon yang muram itu adalah jiwa atau diri sang penyair. Pertanyaan berikutnya, kenapa dia muram? Ya, karena kerinduan pada kekasih (Alloh) yang tak kesampaian juga. Padahal wajah sang kekasih sudah ia bayangkan sejak pagi buta, penyair berkata
aahh...sepagi kusulam lalu kusibak korden tingkap
Hal ini lebih kentara lagi pada bait-bait selanjutnya. Penyair berusaha menghadirkan sang kekasih di hadapannya, dia selalu mengingatnya dalam setiap kembaranya,justru di saat ia selalu mengingat dan berdzikir itulah ia merasakan kerinduan yang sangat akan perjumpaannya dengan sang Kekasih.
kulukis pada kaca jendela berembun
wajah tak asing, berdzikir di setiap kembara
saat jumpa menjadi kerinduan abadi
Angannya, menginginkan ada hal yang bisa segera menyampaikan dan mewujudkannya bertemu sang kekasih dalam istana (jannah) seperti tatkala Rasulullah di bawa oleh Buraq yang membawanya bertemu berjumpa sang Kekasih dan melihat jannah-Nya.Ia bayangkan perjalanan Rasulullah tatkala Mi'raj dan apa-apa yang dilihatnya dalam perjalannya.Andai...ia bisa seperti Rasulullah yang terbang bersama buraq
dalam pagi, sendiri menekuri lantai, menunggu buraq membawa ke awang-awang
istana tertinggal dalam jarak panjang bercabang
Tapi akhirnya sang penyair tersadar, mengakui segala kotor dan salahnya
kuteriakkan segala sampah: berhamburan
Hingga mengalir kata - kata indah dalam permohonan maaf:
sajak-sajak tertumpah
tanpa jeda, pada sinar jade
semua dilakukan untuk mendapatkan cinta sang Kekasih yang tak kunjung tiba, hingga kesedihan menggelayut dalam hatinya karena tetap saja ada jarak antara dirinya (penyair) dengan kekasihnya (Alloh), hingga ia berucap:
pohon kurus (jiwanya) muram (sedih), (karena ada jarak) antara kau (dan) aku
Note:
Kata-kata asing:
labuda: harus
tilam: kasur
selempang:kuatir atau sesuatu yang melingkar
ladam: tapal kuda