Bener-bener baru sadar aku kalau kemarin aku ketemu sama Bunda Pipit Senja. Orangnya lugu dan ramah. Suka banget sharing dan bagi ngilmu. Meski usianya sudah setengahan abad tetapi semangatnya untuk menulis jelas terlihat dalam ungkapannya.
"Besok itu kita mau umroh tetapi bukan sembarang umroh, lho". Lho!, emang ada umroh yang luar biasa. Heranku seketika.
"Maksudnya, kita besok inginnya umroh bareng-bareng terus kita bikin buku, biar orang tambah tertarik menjalankan ibadah umroh", jelasnya kemudian. Nah, terlihat kan betapa semangat menulisnya masih membara.
"Wah, acara kayak gini, ini juga akan ditulis, Bunda?" Entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu yang aku munculkan.
"Lha iya, ya kita nulis apa saja. Ini banyak makanan kayak gini, bisa kita jadikan tulisan", jawabnya.
"Lha, buku ...... " Beliau menyebut sebuah judul buku karyanya. Tapi aku agak lupa, yang saya ingat Bunda Pipt waktu itu menyebut judul bukunya 'Aku Bukan Teroris". Serem mendengar judul buku itu.
"Lho, itu kan buku kisah nya Imam Samudra Bunda?"
"Bukan... bukan itu. Itu buku kisah perjalanan saya."
Nah, kaget lagi aku. Makanan di tulis, perjalanan di tulis, ibadah umroh mau ditulis juga. O, ternyata begini ya seharusnya komitmen seorang penulis. Pokoknya nulis dan nulis. Nulis apa saja. Aku jadi tersipu malu, tapi ya tentu saja aku sembunyikan, karena ada Mbak Qurrota Ayun di samping depan saya. Nah bingung kan, di samping kok di depan. Maksudnya, di depan saya tapi agak di sampin jadi tidak di depan bener.
"Kalua, Njenengan dah ada rencana apa, Mbak Ayun?", tanyaku, menutupi kemaluanku (eh, stop jangan berpikiran ngeres dulu. Maksudku menutupi rasa maluku pada Bunda Pipit yang sudah setengah abad lebih usianya tapi semangatnya menulis masih membara. Sementara saya, yang belum genap lima puluh tahun, sering ngerasa nglokro kalau pas menulis kehabisan ida, eh maksud saya ide).
"Kalau aku........" wah waktu itu si Mbak yang esemannya bikin sejuk ini (eh maap lho mas Nashir ini bukan sekedar pujian, tapi pujian yang ngoyo woro, tapi dengan tujuan biar seneng. Kalau sudah seneng kan suatu saat kalau mau ke Semarang kan bisa gratis naik trepel nya). Lho, kok malah ngelantur. Tapi betul saya lupa waktu itu si Mbak ini ngejawab apa.... hanya saya ingat makna jawabannya, yakni merasa ndak pede kalau ditanya rencana menulisnya. Sekali lagi hanya makna itu dan senyuman kesejukannya yang saya ingat.
Nah, ini juga yang nampaknya ada dalam diri saya (woalah geneo podo). Tidak pede dalam merencanakan sebuah tulisan. Takut di tengah jalan mandeg, kehabisan ide, merasa kesulitan buanget deh pokoknya.
"Sudah berapa buku yang Bunda hasilkan?" Pertanyaanku selanjutnya. Dalam pikiranku pasti sudah puluhan buku yang dihasilkan.
"Ratusan lebih", jawabnya mantab. Kembali aku kaget. Kagetan kali. Wah benar-benar, mukaku tertampar untuk yang kesekian kalinya. Tamparan yang justru membangkitkan semangat untuk menulis.
Kagum itu diam-diam merambat dalam pikiranku. Ah, masak aku tidak bisa. Tarikan napas sengaja kutahan agar tidak ketahuan semua yang hadir di kopi darat di Mall Malioboro. Namun, aku tidak bisa menyembunyikan keinginan diri dari pekanya nurani diri. Pasti...aku bisa.
link: https://www.facebook.com/legacy/notes/468315496541197/