Oleh:
Sekti Hastuti (Plpg)
Ibuku dengan tenang mencari becak untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 2 km dari rumah. Digendongnya adik perempuanku Clara berumur 3 th yang sedang sakit panas tinggi.
Ibu memeluk erat dan mengayun adik dengan penuh kasih. Dengan senyum pahit Ibuku berusaha menghibur adik sampai perawat memanggil nomer antrean. Kemudian perawat minta adik untuk diperiksa dokter, adik menangis histeris dan meronta-ronta sambil memegangi baju Ibu, seolah-olah tak mau lepas dari pelukan Ibu yang hangat.
“Setelah sholat subuh badan putriku panas tinggi Dok.” Jelas Ibu pada dokter yang sedang menyiapkan jarum suntik.
Ibu berusaha mengambilnya dari gendongan perawat agar tenang saat disuntik nanti, tapi dokter melarang dengan alasan Ibu bisa kuwalahan, Ibu hanya bisa menurut meski hatinya tak kuasa mendengar tangisan adikku Clara. Sungguh diluar dugaan, apa yang terjadi.......? Tangisan adik berhenti setelah jarum sudah dicabut dari pantat adik, Ibu meraih adik dan berusaha membangunkan adik dengan menggoyang-goyangkan badan adik yang lunglai, tak ada reksi, adik tidur pulas.
Di sepanjang perjalanan Ibu mendekap erat tubuh adik yang dirasa masih bernyawa. Di atas becak aku hanya diam terpaku menyaksikan Ibu tersenyum, ia begitu tabah.
Saat itu aku kelas 2 SD. Ibu tidak memberitahu ayah yang sedang piket malam di kantornya ketika badan adik panas dan kejang, sampai dibawanya ke rumah sakit. Ibu tak mengira akan seperti ini.
Turun dari becak, Ibu berkata pada kakakku yang menunggu di rumah, “Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun , segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. Allah telah mengambilnya untuk dijadikan bidadari.”
Kuamati butiran air mata ibu jatuh ke pipi, aku baru sadar kalau adik akan pergi selamanya. Aku berlari ke kamar adik, hancur hatiku saat itu, pedih dan sakit sekali, kupukuli bantal dan benda-benda disekitarku, aku menjerit sekuat tenaga sampai aku tak ingat apa-apa lagi......
Padahal baru kemarin sore kami pergi ke langgar (mushola) bersama, malamnya kami bernyanyi, menggambar bersama, main kuda-kudaan, dan tidur bersama. Semua terasa sangat cepat dan tak terduga. Aku sangat kehilangan satu-satunya adik yang kucintai.
Berkat nasihat Ayah dan Ibuku, aku ikhlas Allah SWT mengambil adikku. Aku sudah dilatih untuk selalu mengucap istighfar bila ada kesusahan.
Hari-hariku kulalui dengan ceria meski tanpa adikku, hingga aku tumbuh dewasa tak kekurangan suatu apapun dari keluargaku, terutama kasih sayang Ayah dan Ibuku. Namun, cobaan berikutnya datang, ayah dan ibuku menyusul adikku ke Rahmatullah…
meski sudah yatim piatu aku tetap harus bertahan dan berusaha untuk bisa menerima kenyataan ini dengan ihklas…
(Semoga mereka khusnul khotimah, amiin)