Diksi atau pilihan kata merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah puisi. Diksi akan menciptakan suasana, rima dan irama puisi. Diksi juga akan membuat setiap kata dalam puisi lebih bermakna. Simak saja judul puisi mas Mahbub
Waktu: Suara itu ingin keluar.
Bukankah kata waktu itu akan lebih jelas makna kalimatnya jika diganti dengan kata ketika? Tapi saya yakin bukan dengan alasan Mas Mahbub memilih kata waktu daripada kata ketika. Kita tentu bisa membayangkan ketika ada kalimat, waktulah nanti yang akan membuktikan. Kata waktu memberikan makna yang lebih luas dan dalam dibandingkan kata ketika yang hanya mempunyai makna tunggal.
Puisi mas Mahbub ini mengingatkan kita pada pepatah Lidah tak bertulang. Nampaknya itulah yang dikhawatirkan oleh penyair. Jika tidak kuat menjaganya, bisa jadi akan keluar kata, atau kalimat-kalimat yang tak terkendali yang tidak terpikirkan dan tidak dipertimbangkan baik buruk akibatnya. Lihatlah kata penyair:
Mulut terkatup, tergoda bersuara,
berembun tanpa lengkung pelangi
bicara, sampai tergelincir lidah licin
tanpa rekomendasi benak dan hati, lalu istighfar
Kita bisa mencoba memahami makna penggal puisi itu dengan memberi kata-kata penghubung atau pembantu (memparafrasakan) sehingga terlihat seperti berikut:
Mulut terkatup, tergoda (untuk) bersuara,
(sampai) berembun (mulut berbusa) tanpa lengkung pelangi (ada yang membatasi)
(dalam) bicara, sampai tergelincir lidah licin
tanpa rekomendasi benak dan hati, lalu (ketiak sadar akan mengucap) istighfar
Jika sudah demikian biasanya diri akan menyesali kata-kata yang diucapkan. Apalagi jika kata-kata tersebut berupa umpatan. Lihalah suara penyair:
sesal menyesak pada setiap hela nafas
hanya suara tergagap, kelu merasai padang galau
berpayah membangun kepayang, terjebak buih kata
terukir di balik umpat-umpat, sekali lagi istighfar
Karenanya, sang penyair kemudian juga tersadar jika keinginan mulut ini selalu ia turuti, ia berarti memberanikan diri pada pertarungan yang sebenarnya bisa ia pilih. Pilih bersyukur, atau membiarkan mulut ini berkata tanpa pertimbangan hingga akhirya ia tersungkur.Sementara usianya terus digerogoti oleh masa (waktu). Hingga akhirnya terbayang juga akan kematian dan saat berada di dalam kubur yang pengap dan gelap.
Ia mulai ingin memantas diri, tapi bukan wajah melainkan hati (tak memantas wajah), berusaha tidak lagi mengotori hati (tak hanya hendak berbedak lumpur)
Lalu,
tersungkur pada awal wicara, waktu turut bebenah
tercekat, mengeja di balik misi masa menelan usia.
Senjang yang aku turuti menjadi buah bibir tanpa tabir
penuhi medan galau bertarung di gelanggang pertaruhan
tersungkur atau bersyukur
Ia senantiasa tafakkur dan saat hari berselimut kabut yang pekat dan sunyi ia memanjatkan doa, dengan penuh rasa malu hingga ia tak ingin dikenali wajahnya, wajah masa lalunya yang penuh dengan kedustaan.
berselimut kabut pekat terkungkung sunyi
di penghujung persimpangan mengiring muara doa
membebat muka tak ingin terbaca
menyalangkan mata di balik topeng-topeng penimbun masa
Perasaan inilah yang menyebabkan keinginan menjadi luntur, janjinya hanya sebatas janji dan tidak ada dasar dalam berpikir. Seolah sulit bagi dirinya keluar dari kegelapan masa lalu.
Tapi tatkala ia mengingat kisah-kisah orang , akhirnya keinginan untuk berubahpun kembali muncul. Ia sadar bahwa cinta itu mudah datang dan mudah sirna. Ketika kedustaan sudah memenuhi diri dan hampir tiada celah untuk meninggalkannya, ia berusaha melihat dari sisi yang lain dan ternyata terang ia dapatkan hingga akhirnya ia berusaha lari mengejar cahaya.
Dari dua puisi yang pernah saya lihat dan coba analisis, yaitu
Sebatang Pohon Muram dan puisi Waktu: Suara ingin keluar mas Mahbub dalam diksinya sangat memperhatikan rima. Kata-kata yang berasonansi dan berdesonansi sangat kentara dalam setiap baris-baris puisinya.
Mulut terkatup, tergoda bersuara, (ada desonansi dalam baris ini a-u dan u-a juga aliterasi terkatup-tergoda)
bicara, sampai tergelincir lidah licin, (dalam baris ini aliterasi, yakni konsonan c sangat dominan)
Dan di beberapa bahkan hampir di semua barisnya asonansi, desonansi dan aliterasi ini sangat kentara sekali, hal ini menyebabkan irama puisi terasa enak didengar.
Barangkali untuk kepentingan ini pula (menciptakan rima dan irama) penyair sering menggunakan kata-kata yang sudah jarang digunakan (arkaik), tentu ini merupakan persoalan tersendiri bagi siapa saja yang ingin menikmati dan menangkap apa yang sebenarnya akan diungkapkan oleh sang penyair.
Melihat itu semua, maka pantas saja jika banyak orang yang mengatakan mas Mahbub ini puisi-puisinya romantic, meskipun yang mau diangkat persoalan yang jauh dari romantifisme. Seperti dalam puisi di atas.
Kosakata:
- Kepayang: Mabuk
- Membilur: luka memanjang pad kulit
- Lebam: biru kehitaman
- Pendulum: bandul
- Membebat: mengikat kepala dengan perban
- Delusi: pikiran atau pandangan yg tidak berdasar (tidak rasional), biasanya berwujud sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; pendapat yg tidak berdasarkan kenyataan; khayal.
- meretasan (memutus)
- senarai: daftar
- epitaph (epitaf): tulisan singkat pd batu nisan untuk mengenang orang yg dikubur di situ; 2 pernyataan singkat pd sebuah monumen)