oleh Irwan Prasetyo
Sebuah tugu di ujung Utara pulau Weah Aceh, berdiri tegak setinggi delapan
meter. Landasannya, beton berteratak mirip tangga bersusun lima. Dengan
panjang dan lebar sekitar enam meter. Tentu itu terletak di sebuah semak
belukar di bilangan Jaboi, kotamadya Sabang. Itulah kilometer nol Indonesia.
Berada di tugu itu, terasa sesuatu merayap di kalbu, perasaan keindonesiaan.
Lagu patriotik Dari Sabang sampai Marauke seakan-akan tergiang-ngiang di
telinga. Kita sedang menginjak setapak tanah di ujung paling Barat
Nusantara.
Lambang Garuda begitu megah bertenger di puncak tugu. Di bawah kaki Sang
Garuda, ada relief yang melukiskan untaian zamrud kepulauan di Indonesia.
Memang, sempat timbul tanda tanya, apakah kilometer nol ini benar menjadi
ukuran pasti dimulainya bentangan jalan raya dari ujung Barat Indonesia ke
Timur. Akan tetapi, berada dititik itu, slogan Sabang-Marauke tiba-tiba
menjadi sangat bermakna.
Dari titik nol kilometer ini, jalan hanya selebar 3 meter. Itupun hanya
permukaan sekitar 2 meter yang kelihatan, selebihnya tertutup semak belukar.
Sulit dibayangkan, jika ada kendaraan 2 arah berada di jalur itu. Jarak
kilometer nol ke kota Sabang 22,5 Km. Lalu, dari Sabang terbentang lagi
jarak 28 mil laut atau hampir 52 Km dan tiga jam perjalanan feri ke ujung
utara Sumatra.
Jalan menuju kilometer nol hampir tak berbicara sebagai sebuah jalan raya.
Kilometer nol pun seakan-akan tak berbicara sebagai tanda kilometer di
tempat lain. Bahkan pualam bertuliskan "KM0" telah dicopot tangan-tangan
jahil. Sedangkan tugu-tugu yang kesepian itu tak pernah dihiraukan sebagai
tanda kilometer jalan raya. Akan tetapi, dalam keheningan belukar di Jaboi,
di bawah bola-bola awan yang keperakan, di sela-sela deburan ombak, tugu itu
tetap tegar sebagai sebuah lambang yang berbicara tentang kesatuan
Indonesia.
(tulisan Irwan Prasetyo )