”Pak, setelah selesai, istirahat langsung ke kantor atau pokso PPL saja. Tidak usah mongbrol sama anak-anak” begitu tegur guru pamong kepada saya, ketika saya lebih suka menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang-bincang sama anak-anak di kelas. Ya, sekedar untuk mengenal mereka.
Bagi saya, mengenali latar belakang siswa, meski tidak harus detail, adalah cara yang cukup baik untuk memahami permasalahan yang mereka hadapi. Saya suka heran dengan guru-guru yang tidak mau dekat dengan muridnya. Kalo sekedar ngajar dan transfer knowledge aja kok saya kira nggak usah jadi guru! Mending jadi trainer, yang dibayar, kemudian selesai putus hubungan!
”Memang kenapa Bu?” tanya saya pura-pura bloon.
”Ya, nanti anak-anak kurang menghormati gurunya!” begitu kurang lebih yang saya tangkap dari penjelasannya.
“Wah, begitu ya?” bathin saya.
Saya jadi ingat Film Dead Poet Society yang dibintangi Robin William, yang bercerita tentang kenakalan guru Bahasa Inggris yang mengompori muridnya untuk mendobrak tradisi ortodoks di sekolahnya yang sangat membatasi kreativitas para murid disana.
Hmmm, saya memang bukan John Keating – guru bahasa Inggris dalam film tersebut – tetapi mengandaikan saya seperti Keating yang mendobrak nilai-nilai yang menurut saya sudah uzur bagi dunia pendidikan, benar-benar membuat saya bersemangat mengajar dan merasakan tantangan tersendiri. Hal itu membuat saya tetep nekat menghabiskan waktu-waktu istirahat saya ngobrol dengan anak-anak.
****
Menjelang saat PPL berakhir, saya kebagian kelas 2 Sosial. Sial sekali memilih jurusan sosial di SMA ini, mereka dianggap anak-anak buangan. Jumlahnya pun nggak banyak, kalo kelas Fisika dan biologi masing-masing kelas hampir 40 orang, dan ada 3 kelas pararel, sementara kelas Sosial penghuninya nggak sampai 30 orang, udah gitu hanya ada sekelas.
Apa karena mereka sudah kena stigma, sebagai “anak-anak buangan” akhirnya mereka bertindak sebagaimana stigma yang diberikan kepada mereka, kalo istilah teman saya sudah dituduh kok nggak melakukan rugi! . Jadi karena sudah dianggap anak-anak buangan dan bengal-bengal jadinya ya nggak ada yang tahan ngajar di kelas itu.
Lagi-lagi teman teman satu tim meminta saya ngajar di kelas itu. Wah padahal tinggal sekitar 2 minggua aja saya di sekolah ini. Dan ini saat-saat ujian penilaian akhir PPL saya. Ah sudalah nothing to lose aja. Menurut teman-teman, kondisi kelasnya tidak lebih baik dari kelas 2 biologi 2, seperti yang saya ceritakan sebelumnya.
Sekali lagi, saya membawa pikiran saya menuju masa-masa SMA. Ah saya dulu juga kelas Sosial, saya bayangkan kenalakan-kenakalan yang kami lakukan dan bagaimana reaksi guru saya waktu itu. Ya, saya mempersiapkan mental dulu, expect the unexpected, predict the unpredictable
“Yup,saya siap! Bismillah!”
Seperti yang saya alami di kelas biologi, mereka cuek dengan kehadiran saya. Dan sekali lagi pertemuan pertama tidak terlalu banyak pelajaran yang saya berikan, saya mencoba menguasai kelas dan mengenal beberapa anak yang menjadi play maker di kelas itu. Dan ketemulah beberapa diantaranya.
Setelah survey beberapa saat saya tahu kalau anak-anak Sos ini suka sekali dengan musik, sampai-sampai ada yang bawa gitar segala.
Oke deh! Saya nemu “clue” (petunjuk/celah ), mendekati mereka.
Ya, saat itu grup musik yang dikomandani Curt Cobain, Nirvana, dengan lagunya Smell like teen spirit dan Metallica dengan nothing else matter-nya . Ah anak-anak pasti nggak tahu kalo lagunya Nirvana ada plesetannya yang begitu kocak, saya akan kasih tau mereka…
Ah, saya jadi ingat, teman sekelas yang suka ngoleksi lagu-lagu itu. Nggak hanya Nirvana, tapi plesetannya juga, punyanya Wired Al Jankovic, smeel like nirvana. Saya segera kesana minjem beberapa dan saya salin liriknya.
Di kelas, setiap kali ngajar saya usahakan setiap kali memberikan contoh kalimat memakai nama-nama penyanyi yang anak-anak suka, bahkan beberapa kalimat saya ambil dari lirik-lirik lagu yang mereka kenal – tentu diubah dan disesuaikan tema pembahasan.
Anak-anak mulanya agak terkejut dengan contoh-contoh dan kalimat yang saya berikan, pasalnya mereka nggak pernah mendapatkan hal itu dari guru mereka. Akhirnya sayapun jadi akrab dengan anak-anak. Kadang juga pas waktu istirahat saya ajak mereka menerjemahkan lirik lagu yang mereka suka… ya, daripada mereka membenci bahasa inggris sama sekali – gara-gara gurunya sudah nggak mood sama mereka, khan mending mereka suka bahasa inggris dengan aktivitas yang dekat dengan dunia mereka?
Tapi sialnya, guru pamong saya tidak suka dengan model dan contoh-contoh yang saya berikan - menyalahi pakem katanya . ya saya tahu ketidak sukaannya saat dia duduk di bangku belakang mengamati saya mengajar. Ah biarin cuek bebek saja, yang penting anak-anak nggak masalah!
“Buatlah contoh yang seperti biasanya saja…!” begitu kira-kira pesan yang dia sampaikan pada saya.
“Ya, Bu, saya hanya mencoba variasi saja…” jawab saya.
Tapi nampaknya dia nggak suka dengan jawaban saya. Ya sudah!
****
Akhirnya setelah PPL berakhir…
Alhamdulillah saya mendapat nilai paling jelek diantara teman-teman satu kelompok, kalo nilai mereka Rata-rata dapat A hanya sebagian kecil saja dapat B.
Sedang saya?
Nyaris dapat D
Gimana tidak wong nilai saya cuman 60 lebih dikit
“Ah, nggak papa,…!” hibur saya pada diri sendiri
Cuman setelah PPL saya punya keinginan kuat.
Saya tetep pengen Ngajar! Tapi nggak mau Ngajar di sekolah formal! Mereka kreativitas saya terbatasi !