oleh Rabindranat Tagore
walau berkunjung bulan purnama diangkasa malam
pijar hangat cahayanya tak juga menembus jantung
hatiku ini gulita bertumpuk nestapa
melati mati dan tak harum lagi,
ibarat cintaku seperti itulah duka ceritanya
di air hijau hutan papirus,ingin kuberlari membasahi telapak dan basuh jejak namamu,agar tak menyiksa bathin sekejam ini
tetapi tak juga bisa bersih
setiap fajar lembayung menggulung mimpi,azab cinta tertinggal disukma
aku hanya bisa meratapimu saja.
Analisis Puisi
Cinta, Anda pernah merasakan cinta. Yah, manis di hati nikmat dirasa. Itulah orang yang jatuh cinta. Apapun akan terasa indah. Gulung ombak dan desir ngerinya menjadi alunan simphoni bagi yang sedang kasmaran. Gelap gulitanya malam menjadi terasa syahdu dan menggairahkan. Tapi coba anda bayangkan bagaimana jika kondisi yang serba membahagiakan itu, tiba-tiba sirna dan lenyap begitu saja.
Akankah indahnya bulan purnama yang sering menjadi dendangan pujangga cinta terasakan?
Akankah harum wanginya melati terasa?
Akankah datangnya malam yang biasa digunakan untuk memadu cinta menjadi syahdu terasa dan menggairahkan?
Justru sebaliknya
walau berkunjung bulan purnama di angkasa malam
pijar hangat cahayanya tak juga menembus jantung
demikian ungkap penyair. Indah purnama dan terang cahanyanya tak lagi sanggup menyinari jatung bahkan hatinya semakin gulita di tengah terang cahaya purnama dan syahdu suasananya
hatiku ini gulita bertumpuk nestapa
Kenapa? Ya, karena semua itu justru mengingatkan saat-saat ia merasakan bahagia yang kini sudah tidak mungkin lagi dirasakannya. Rasa bahagia yang pernah ia rasakan berubah menjadi nestapa.
Tidak mudah melupakan sang kekasih...
meski usaha selalu dilakukan
di air hijau hutan papirus,ingin kuberlari membasahi telapak dan basuh jejak namamu,agar tak menyiksa bathin sekejam ini
Justru sebaliknya tatkala usaha untuk melupakan kisah kasihnya semakin keras ia lakukan azab cinta semakin ia rasakan membakar hatinya. Akhirnya hanya ratapan pilu yang dapat ia lakukan. Azab cinta selalu meremukredamkan seluruh sendinya.
Nampak sekali penyair mempunyai jiwa romantis. Ia mampu menvisualisasikan kesedihan yang dialaminya dengan paradoks hingga imaji pembaca terbawa ke suasana yang sebenarnya.
Rasakan makna kata ataupun frasa yang secara diametral berlawanan:
bulan purnama = pijar hangat cahaya dipertentangkan dengan (hatiku) gulita
melati (yang biasa harum) dipertentangkan dengan tak harum lagi
membasuh jejak dipertentangkan dengan tak bisa bersih
Selain itu pilihan kata yang dilakukan sangat pas dengan suasana yang ingin diciptakan. Selain citraan visual, citraan rasa banyak kita temukan dalam puisi ini.